Wednesday, June 30, 2010

PROSPEK PERKEMBANGAN AGRIBISNIS DI INDONESIA

Oleh:   Ir. Untung Jaya
Tabloid Agribisnis Dwimingguan AGRINA

Semiloka Pengembangan Kurikulum  Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Islam “45”Bekasi, 29 Juni 2010

Agribisnis sudah menjadi kata atau istilah atau terminologi yang umum dan meluas di Indonesia terutama dalam 10 tahun terakhir ini. Walaupun sebelumnya kata atau istilah agribisnis ini telah ada, tetapi tidak sepopuler dan semeriah pada periode 1995-2004. Bahkan kata ‘agribisnis’ telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia edisi tahun 2005, yang mendefinisikannya sebagai usaha yang berkaitan dengan pertanian. Berarti kata ‘agribisnis’ telah secara resmi dianggap dan diperlakukan sebagai istilah umum di Indonesia.

Sebagai langkah awal, agribisnis dapatlah didefinisikan seluruh kegiatan dan usaha yang berkaitan langsung dengan pertanian (dalam pengertian budidaya pertanian/farming). Sistem dan usaha agribisnis diartikan sebagai suatu kesatuan yang utuh dari semua kegiatan dan usaha yang berkaitan langsung dengan pertanian.

Sejak 1970, sebagian besar negara termasuk negara-negara maju sedang giat-giatnya mengadopsi dan menikmati revolusi hijau, termasuk Indonesia. Melalui teknologi revolusi hijau tersebut banyak negara yang berhasil meningkatkan produksi komoditas agribisnisnya. Bahkan dalam kurun 1970 – 2000 secara global terjadi surplus produksi khususnya bahan pangan (excess supply). Surplus produksi tersebut menyebabkan harga-harga bahan pangan menjadi murah (di bawah harga keenomiannya), sehingga pada periode tersebut masyarakat internasional menikmati era pangan murah.

Proses industrialisasi yang sangat intensif di berbagai negara dan pertumbuhan penduduk dunia telah membawa perubahan yang fundamental dalam pasar agribisnis global. Perubahan variabel permintaan pangan jauh melampaui perubahan dalam produksi pangan dunia. Akibatnya, sejak 2000 pasar agribisnis berada pada kondisi kelebihan permintaan (excess demand). Hal tersebut mendorong harga-harga produk agribisnis global meningkat tajam dalam 10 tahun terakhir. Dan diperkiraan akan terus berlangsung ke depan.

Indonesia sebagai negara agribisnis berpeluang besar untuk memanfaatkan era pasar pangan mahal tersebut. Meskipun tidak mudah, Indonesia masih lebih mudah mengambil manfaat dari era baru tersebut dibandingkan negara-negara lain.

Perubahan Pasar Agribisnis Global

Dalam 10 tahun belakangan ini setidaknya ada empat variabel permintaan pangan global yang berubah secara signifikan dan gagal diantisipasi pengambil kebijakan di berbagai negara sebagai berikut.

Pertumbuhan Pendapatan
Beberapa tahun terakhir banyak negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat, jauh di atas pertumbuhan negara maju. Menurut data IMF (2007) negara berkembang yang di dalamnya terdapat 75% penduduk dunia menikmati pertumbuhan ekonomi 6 – 9% per tahun. Contohnya, China dan India ekonominya tumbuh rata-rata 9% per tahun dalam periode 2003 – 2007. Demikian juga negara berkembang di Afrika menikmati pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun.

Jika sebelumnya negara-negara berkembang tersebut tergolong rendah konsumsi pangannya dengan peningkatan pendapatan yang relatif cepat mendorong peningkatan konsumsi pangan  yang cukup besar.  Sebagai gambaran (FAO 2007), konsumsi pangan China dalam kurun waktu 1990 – 2006 naik 50 – 400% tergantung bahan pangan, India pada periode yang sama meningkat 20 – 70%.

Komposisi Penduduk dan Urbanisasi
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan komposisi penduduk akibat urbanisasi yang cepat di negara-negara berkembang. Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan telah melebihi pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan dengan pangsa usia produktif lebih besar, pergeseran gaya hidup, dan pertumbuhan pendapatan yang relatuf tinggi meningkatkan konsumsi pangan. Konsumsi pangan di perkotaan negara berkembang lebih tinggi daripada di pedesaan.

Pergeseran Selera Pangan
Akibat pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di negara berkembang, dalam dekade terakhir ini telah menyebabkan terjadinya pergeseran selera konsumsi pangan yang dramatis. Pergeseran selera pangan ini diperkuat pula oleh globalisasi yang berlangsung dalam dekade terakhir ini. Pergeseran selera pangan terjadi baik pada pangan pokok maupun pangan secara keseluruhan.

Pergeseran selera pangan di negara-negara berkembang terjadi dari pangan pokok ke produk pangan bernilai tinggi, seperti sayuran, buah-buahan, susu, daging, dan minyak nabati. China misalnya, konsumsi biji-bijian mengalami penurunan sebesar 20% pada 2007 dibandingkan konsumsi 1990, sementara konsumsi minyak nabati, daging, susu, buah, sayur, dan ikan naik dratis sebesar 240 – 350% pada periode yang sama. Peningkatan konsumsi susu dan daging tersebut akan meningkatkan permintaan bahan baku pakan seperti jagung, kedelai, dan lainnya.

Subsititusi Energi Fosil
Makin langkanya energi fosil dan meningkatnya ancaman pemanasan global akibat konsumsi energi fosil, telah mendorong banyak negara untuk mengurangi dan mensubtitusi energi fosil dengan energi nabati (biofuel). Amerika Serikat dan China mengambangkan etanol dari jagung, Brazil dan India mengambangkan etanoil dari tebu, dan Uni Eropa lebih banyak mengembangkan diesel dari minyak nabati. Ditargetkan sampai 2010 sekitar 5 – 15% konsumsi energi fosil digantikan dengan biofuel.

Peningkatan produksi biofuel tersebut jelas meningkatkan penggunaan bahan baku pangan seperti jagung, tebu, minyak nabati, dan lainnya. Amerika Serikat sebagai produsen jagung terbesar di dunia, menggunakan sekitar 30% produksi jagungnya untuk bahan baku etanol. Demikian juga Uni Eropa, Kanada, China dan negara lainnya menggunakan produksi bahan pangan untuk bahan baku biofuel.


Kondisi Pangan Dunia

Dari sisi penawaran juga terjadi perubahan secara global. Volume penawaran bahan pangan global tergantung pada produksi dan stok bahan pangan global. Menurut data FAO 2007, produksi biji-bijian dalam periode 1999 – 2007 cenderung stagnan. Bahkan produksi biji-bijian dunia pada 2006 turun 2,4% dibandingkan dengan 2005. Produksi gandum AS dan EU, produsen gandum terbesar dunia, dalam periode 2004 – 2006 mengalami penurunan sebesar 12%. Demikian juga produksi jagung mengalami penurunan 12 – 16% pada periode yang sama.

Sementara produksi biji-bijian China mengalami peningkatan sekitar 12% pada 2006 – 2007, demikian juga produksi beras India meningkat hampir 9%. Namun peningkatan produksi di China dan India tidak mampu menutupi penurunan di AS dan EU. Keadaan ini bertambah parah dengan peningkatan konsumsi pangan, sehingga stok pangan mengalami penurunan dalam kurun 2000 – 2007. Total stok biji-bijian dunia (FAO 2007) turun dari sekitar 650 juta ton menjadi 400 juta ton. China yang menguasai hampir 40% stok biji-bijian dunia turun drastis, dari 310 juta ton menjadi 150 juta ton pada periode yang sama.

Sedangkan produksi bahan pangan bernilai ekonomi tinggi, seperti sayur, buah, daging, dan susu mengalami peningkatan khususnya di negara-negara berkembang. Dalam periode 2000 – 2006, produksi sayur, buah, daging, dan susu di negara maju meningkat sekitar 0,2 – 0,6% per tahun. Sedangkan di negara berkembang tumbuh lebih cepat, 2,9 – 4% per tahun. Namun pertumbuhan konsumsinya secara global pada priode yang sama lebih besar.

Penurunan pertumbuhan produksi dan stok bahan pangan global dalam dekade terakhir disebabakan beberapa faktor sebagai berikut.

Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim global menyebabkan anomali iklim dan pemanasan global. Berbagai bentuk anomali iklim seperti banjir di AS, UE, China, Australia, Indonesia dan negara lainnya dalam periode 2000 – 2007 telah merusak dan menurunkan produksi bahan pangan global. Demikian juga kekeringan yang terjadi di berbagai negara menyebabkan penurunan produksi bahan pangan.

Kenaikan Harga BBM Dunia
Naiknya harga BBM dunia dari sekitar US$ 50 per barrel pada 2000 menjadi sekitar US$ 100 pada 2007 mempengaruhi produksi bahan pangan dunia. Kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan biaya pupuk, biaya transportasi, dan biaya produksi lainnya. Proses produksi bahan pangan di negara-negara maju yang lebih padat mekanisasi menyebabkan kenaikan biaya produksi yang relatif besar dibandingkan negara berkembang.

Konversi Lahan
Meningkatnya harga bahan baku biofuel seperti jagung telah mendorong terjadinya persaingan lahan antartanaman, yakni dari tanaman lain ke jagung atau tanaman minyak nabati lainnya. Akibatnya produksi tanaman yang terkonversi mengalami penurunan.

Selain didorong oleh kenaikan harga bahan-bahan baku biofuel, konversi lahan pertanian juga telah lama terjadi pada hampir setiap negara. Untuk pembangunan industri dan pemukiman membuat lahan-lahan pertanian subur di sekitar kawasan perkotaan banyak yang mengalami konversi. Akibatnya kemampuan produksi bahan pangan pun mengalami penurunan.

Secara keseluruhan, produksi pangan global dalam periode 2000 – 2006 memang masih meningkat sedikit. Namun peningkatan permintaan pangan global jauh lebih tinggi daripada peningkatan produksi pangan global. Dalam periode tersebut permintaan biji-bijian global meningkat sekitar 8%, yakni peningkatan untuk bahan pangan dan pakan naik 4 – 7% dan peningkatan untuk biofuel naik lebih dari 25%. Sementara itu, produksi biji-bijian hanya naik sekitar 2%. Akibatnya harga naik hampir 50%.

Kenaikan harga bahan pangan global tersebut secara teoritis akan mendorong peningkatan produksi. Hal ini bisa saja terjadi dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek respon produksi sangat kecil mengingat elastisitas produksi pangan inelastis. Peningkatan harga sebesar 10% hanya direspon dalam bentuk peningkatan produksi sebesar 0,1 – 0,2%.

Proyeksi Pasar Agribisnis Global

Berbagai badan dan lembaga internasional telah melakukan proyeksi tentang kondisi masa depan pangan global. Dari proyeksi tersebut ada empat variabel penting yang menentukan situasi pangan global di masa yang akan datang. Keempat variabel tersebut adalah pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, urbanisasi, subsitusi energi fosil dengan biofuel, dan perubahan iklim global.

Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang
Pertumbuhan atau peningkatan pendapatan yang akan terjadi pada 75% penduduk dunia (penduduk negara berkembang) tersebut akan meningkatan konsumsi pangan, mengingat sampai saat ini konsumsi pangannya masih tergolong rendah dibandingkan negara maju. Sekalipun konsumsi biji-bijian dan umbi-umbian cenderung turun, konsumsi buah, sayur, daging, dan susu akan meningkat tajam baik konsumsi per kapita maupun konsumsi total.

Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang umumnya terjadi dan tercepat di daerah perkotaan akan mendorong terjadinya urbanisasi yang lebih cepat. Diperkirakan pada 2030 populasi penduduk dunia di perkotaan akan mencapai 61% dan akan meningkat mendekati 75% menjelang 2050.

Urbanisasi menyebabkan pergeseran selera pangan seperti yang telah terjadi dalam satu dekade terakhir di negara-negara berkembang. Pergeseran selera yang dimaksud adalah menurunnya konsumsi beras per kapita, meningkatnya konsumsi gandum per kapita, meningkatnya konsumsi sayur, buah, daging, dan susu, serta meningkatnya konsumsi pangan dengan berbagai atribut modern.

Substitusi Energi Fosil dengan Biofuel
Peningkatan substitusi energi fosil dengan biofuel selain didorong kelangkaan energi fosil, juga didorong oleh upaya internasional untuk mengurangi emisi CO2 sebagai upaya mengatasi pemanasan global sesuai amanat Protokol Kyoto. Penggunaan biofuel dipandang solusi strategis karena selain mengurangi emisi CO2 juga sekaligus menyerap CO2 atmosfir melalui fotosintesis tanaman bahan baku biofuel. Pengembangan biofuel global akan berdampak terhadap peningkatan permintaan dan harga produk pertanian.

Perubahan Iklim Global
Diperkirakan perubahan iklim global yang semakin menguat di masa yang akan datang. Penyebab utama perubahan iklim global tersebut adalah kenaikan temperatur atmosfir bumi. Secara keseluruhan akibat pemanasan sampai 2020, produksi pertanian global akan turun 16% dimana penurunan produksi sampai 20% terjadi di negara berkembang dan 6% di negara maju.

Proyeksi pangan global di atas menunjukkan bahwa di masa yang akan datang pasar pangan global akan menghadapi pergeseran dan kenaikan permintaan yang dramatis baik karena pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang maupun akibat substitusi energi fosil dengan biofuel. Sedangkan dari sisi produksi, peningkatan produksi pangan global akan menghadapi dampak negatif perubahan iklim global yang menurunkan kemampuan planet bumi dalam memproduksi pangan.

Implikasi Bagi Agribisnis Indonesia

Indonesia berpeluang menjadi pemain global dan berperan dalam feeding the world, setidaknya dalam kelompok produk agribisnis 4 F (Food, Feed, Fuel, dan Fiber). Keempat produk tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat dunia di mana pun dan sampai kapan pun.   

Untuk menjadikan Indonesia unggul dalam 4 F tentu tidak datang dengan sendirinya. Bahkan jika hanya mengandalkan cara-cara dan perhatian yang selama ini dalam pengembangan agribisnis, sulit untuk menjadi unggul dalam 4 F tersebut. Kita memerlukan cara baru, semangat baru, dan generasi baru dalam mengembangkan agribisnis di Indonesia ke depan. Pembangunan agribisnis harus kita lakukan secara total dan jangan setengah hati atau sambil lalu.

Pembangunan ekonomi yang dimotori pembangunan agribisnis yang dimaksud mencakup keempat komponen (subsistem) sebagai berikut.

Pengembangan industri-industri hulu pertanian (up-stream agribusiness) yang menghasilkan barang-barang modalbagi pertanian, seperti industri pembibitan, pupuk, pestisida, vaksin dan obat hewan dan ikan, serta industri alat dan mesin pertanian, peternakan, dan perikanan.

Pembangunan pertanian (on-farm agribusiness) baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.

Pembangunan industri pengolahan hasil pertanian (down-stream agribusiness) yang mengolah hasil-hasil pertanian menjadi produk-produk agribisnis setengah jadi dan produk jadi, seperti industri pengolahan makanan dan minuman, industri pakan ternak dan ikan, industri biofuel, industri biofiber, dan industri lainnya.

Pengembangan jasa untuk agribisnis (services for agribusiness) seperti perdagangan antardaerah, internasional, penelitian dan pengembangan, pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, perbankan, asuransi, transportasi, pergudangan, serta kebijakan pemerintah (fiskal, moneter, kelembagaan, peraturn daerah, dan tata ruang.

Keempat komponen tersebut harus dilihat dan dibangun secara utuh, sinergis, harmonis, dan integratif, dan dilakukan di seluruh daerah Indonesia sesuai dengan potensi agribisnis lokal yang ada. Indonesia tidak mungkin unggul dalam 4 F jika yang dikembangkan hanya pertanian, industri pengolahan, atau industri hulu saja. Indonesia harus mengembangkan keempat komponen agribisnis tersebut secara integratif dan dalam satu kawasan yang ekonomis.

Referensi

Cline WR. 2007. Global warming and agriculture: Impact estimates by country. Washington, D.C.: Center for Global Development and Peterson Institute for International Economics.

Cohen B. 2006. Urbanization in developing countries: Current trends, future projections, and key challenges for sustainability. Technology in Society 28: 63 – 80.

FAO (Food and Agriculture Organizarion of the United Nations) berbagai publikasi.

Saragih B. 2010a. Perkembangan Mutakhir Pasar Agribisnis Global dan Implikasinya bagi Pembangunan Agribisnis Indonesia. IPB Press. Bogor.

Saragih B. 2010b. Suara Agribisnis: Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. PT Permata Wacana Lestari (Penerbit Tabloid Agribisnis Dwimingguan AGRINA. Jakarta.

1 comment:

  1. singkronisasi antara pihak bidang produksi seperti hortikultura, perikanan, peternakan serta orang-orang penunjangnya dengan pihak ekonom sebagai penyalur dan pengatur jalur perdagangannya tentu sangat dibutuhkan. jika semua tersingkronisasi, tak menutup kemungkinan kita akan merajai sektor ini.


    visit my site : ravlikurniadi.student.ipb.ac.id

    ReplyDelete